Sabtu, 29 Juni 2019

I Fatimah Daeng Takontu si “Garuda Betina dari Timur”



Tak banyak yang tahu kalau semangat emansipasi kaum wanita di Gowa bukanlah muncul pada zaman Raden Ajeng Kartini saja. Ratusan tahun sebelumnya, kaum wanita di Kerajaan Gowa telah memegang peranan penting dalam pemerintahan. Ini dapat dilihat pada masa kepemimpinan Raja Gowa pertama Tumanurung Baineya pada tahun 1320, dimana kaum perempuan muncul sebagai pucuk pimpinan di Kerajaan Gowa. 

Kemudian pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, dimana kerajaan Gowa dilanda peperangan dengan pasukan Belanda yang ingin menguasai perdagangan di kawasan timur nusantara. Perjuangan menentang kehadiran Belanda tidak hanya didominasi oleh pasukan Tubarani dari kaum lelaki, tetapi juga dari kaum wanita dengan hadirnya pasukan Balira yang dipimpin oleh I Fatimah Daeng Takontu. Adakah kita mengenal tokoh ini? Sangat sedikit dari masyarakat apalagi pelajar yang mengenalnya. Inilah salah satu alasan penulis mencoba merangkum dan mengangkat tulisan tentang beliau. 

I Fatimah Daeng Takontu lahir pada 10 September 1659 adalah putri tunggal hasil perkawinan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone I Daeng Takele. Fatimah sangat dekat dengan ayahnya, bahkan setiap ayahnya memberikan latihan pada prajuritnya ia selalu ikut. Sehingga Fatimah mewarisi jiwa patriotik ayahnya bahkan menguasai ilmu bela diri. 

Jika sang ayah mendapat gelar “ayam jantan dari timur” maka seorang penyair Belanda memberi julukan “Garuda betina dai timur” kepada Fatimah. Julukan itu dberikan karena keperkasaan Fatimah dalam memimpin pasukannya dalam setiap peperangan. 

Walau saat kanak-kanak, I Fatimah selalu diperlakukan manja, akan tetapi suasana saat itu telah banyak diwarnai pergolakan sebagai akibat adanya keinginan campur tangan Belanda terhadap kerajaan, sehingga disana sini telah banyak terjadi pertempuran yang telah gbanyak menelan korban. 

I Fatimah juga tak ingin menjadi obyek penjajahan, tetapi sebagai anak dari seorang ksatria, ia juga tampil sebagai pemberani. Ayahnya kemudian mempercayakan dia sebagai pimpinan pasukan srikandi atau dalam bahasa Makassar disebut pasukan Balira. 

I Fatimah juga banyak membina kaum perempuan untuk bangkit melakukan perlawanan terhadap penjajah. Kecintaan terhadap tanah air, sehingga rakyat Gowa saat itu bahu membahu mengusir penjajahan dari butta Gowa. Senjata yang paling ampuh bagi masyarakat Gowa saat itu adalah semangat “Abulo Sibatang” yang menjadi lambang persatuan bagi masyarakat Gowa. 

Ketika Belanda mempelajari senjata ampuh Abbulo Sibatang itu, kemudian ia taklukkan dengan politik adu domba “Devide et Impera”. Politik inilah yang kemudian memporak-porandakan rakyat Gowa juga termasuk beberapa kerajaan di Indonesia. Mereka diadu kemudian dilumpuhkan dan dikuasai. Akibat politik Belanda itu, rakyat Gowa tidak hanya berperang melawan Belanda tapi juga sesama bangsanya sendiri. 

Sejak Islam dijadikan agama kerajaan di Gowa pada masa Raja Gowa XIV Sultan Alauddin hingga raja-raja berikutnya, selalu menekankan perlunya memperdalam baca tulis Al Quran. Atas perintah raja, semua mesjid, surau dan tempat pengajian lainnya selalu dipadati anak-anak santri demikian halnya di istana. I Fatimah daeng Takontu telah berhasil menamatkan Al Quran dan digodok untuk memahami isi kandungan Al Quran. 

I Fatimah diberi kepercayaan oleh ayahnya yang juga Raja Gowa untuk memimpin pasukan srikandi, namanya pasukan Balira. Pasukan Balira ini, bersenjatakan balira yakni salah satu alat yang dipakai oleh orang-orang tua dulu untuk bertenun. Panjangnya sekitar 1,5 meter, mirip pedang, tapi tidak tajam, namun keistimewaan balira ini adalah mampu menembus ilmu kebal dari musuh. 

Konon, menurut kepercayaan dari masyarakat Gowa, senjata balira ini memiliki kesaktian yang luar biasa. Senjata ini tidak melukai, hanya saja bilamana seseorang terkena pukulan balira, mereka tidak mendapat keselamatan dan akan terus menderita sakit seumur hidup. Itulah sebabnya, musuh yang tahu tentang senjata balira ini lebih takut berhadapan pasukan bersenjata balira dibanding dengans enjata tajam atau senjata api. 

Setiap menghadapi pertempuran, pasukan balira ini juga selalu diikutkan. Mereka selalu dikawal oleh pasukan Tubarani yang didominasi kaum lelaki. Pasukan Balira ini, tak hanya bersenjatakan balira, namun juga dilengkapi dengan senjata tajam atau senjata api bila ada. Di pinggangnya terselip sebilah keris pusaka atau badik yang dapat digunakan pada pertempuran jarak dekat. 

Ditandatanganinya Perjanjian Bungaya, hancurnya benteng Somba Opu beseta istananya dan benteng-benteng lainnya ternyata tidak diterima baik oleh beberapa bangsawan Kerajaan Gowa dan sekutunya seperti Kerajaan Wajo, Mandar dan Luwu. Beberapa bangsawan Gowa yang tak menerima kekalahan ini di antaranya Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, Karaeng Karunrung dan I Fatimah Daeng Takontu. Mereka bertekad ke tanah Jawa untuk melanjutkan perjuangan Raja Banten Sultan Agung Tirtajasa dan Raja Mataram Raden Trunojoyo. 

Antara Gowa dan Banten sudah lama terjadi hubungan erat, sehingga kedatangan kontingen dari Makassar mendapat sambutan hangat dari Sultan Banten. Pasukan dari Makassar ini kemudian bergabung dengan pasukan Banten. I Fatimah memiliki tanggung jawab yang sangat besar di Banten karena ia adalah pimpinan pasukan Balira. Ia ingin melampiaskan balas dendamnya terhadap Belanda. Makanya kedatangannya ke negeri Banten hanya dua pilihan yakni “merdeka atau mati”. 

Kiprah I Fatimah bersama pasukan Balira tidak hanya di Banten, ia juga ikut membantu Kerajaan Mataram bersama kakaknya Karaeng Galesong. Sesuai pesan dari ayah mereka, Raja Gowa Sultan Hasanuddin, agar selalu menjaga adiknya. Sehingga dimana Karaeng Galesong melakukan serangan, di sana pula I Fatimah dan pasukan Baliranya. 

Baik pasukan Tubarani pimpinan Karaeng Galesong maupun pasukan Balira pimpinan I Fatimah, semuanya sudah dilengkapi dengan persenjataan dan ilmu beladiri. Mereka tidak hanya jago berkelahi di darat, juga di laut punya keberanian yang sama. 

Di Mataram terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda yang didukung oleh pasukan Sultan Amangkurat II dan pasukan Arung Palakka dari Bone melawan pasukan gabungan Trunojoyo, Karaeng Galesong dan Bontomarannu. 

Karena terdesak, akhirnya pasukan Gowa mundur. Karaeng Galesong jatuh sakit dan wafat pada 22 November 1679 dan dimakamkan di desa Sumber Agung Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. I Fatimah mencari tempat perlindungan yang aman, selanjunya melanjutnya perjalanan ke Banten. 

I Fatimah kemudian menikah dengan anak Sultan Banten yaitu Maulana Hasanuddin. Orang Gowa mengenal Maulana Hasanuddin dengan julukan Karaeng I Lau (Raja yang ada di negeri Barat-Banten) atau lebih dikenal dengan karaeng Lau. 

Menurut Pangeran Ratu Kesultanan mempawa, Dr Mardan Adijaya, perkawinan antara I Fatimah dan Maulana tidak membuahkan anak. Tetapi menurut sumber lontara dari negeri Belanda, perkawinan I Fatimah dan Maulana Hasanuddin membuahkan dua orang anak, yaitu Makkaraeng Karaeng Manjalling pada 26 Desember 1683 dan Siti Aisyah pada 6 Juni 1685. 

I Fatimah dan suaminya Maulana juga ikut bergerilya di hutan-hutan. Di lokasi persembunyian, Belanda melakukan serangan mendadak hingga pasukan I Fatimah kocar kacir dan menyebabkan suami istri I Fatimah dan Maulana terpisah. I Fatimah kabur bersama Daeng Kalibe Karaeng Malukessy, salah satu pasukan elit pimpinan Karaeng Galesong hingga ke Kerajaan Mempawa Kalimantan Barat. Kerajaan ini dipilih karena disana suda ada putra dari kerajaan Gowa yang pernah memimpin negeri itu yaikni Opu Daeng Manambung. 

Di Mempawa, I Fatimah dan rombongannya diperlakukan dengan baik dan bijak bahkan Opu Daeng Manambung mengangkat I Fatimah sebagai anaknya. Setelah lama bermukin di Mempawa dan tidak ada kabar dari suaminya, akhirnya I Fatimah memutuskan untuk bercerai. Kemudian ia menikah dengan Daeng Kalibe dan membuahkan seorang putri bernama Daeng Tipa. 

I Fatimah pantang kembali ke negerinya, karena disana masih ada Belanda yang bercokol di kerajaan. I Fatimah kemudian mendirikan perguruan bela diri yang diberi nama Perguruan I Fatimah Daeng Takontu. Melalui perguruan ini, I Fatimah menurunkan ilmu bela diri pada masyarakat Mempawa karena ingin melihat semangat juang rakyat dan berharap kerajaan Mempawa menjadi tangguh dan mampu dalam menghadapi kemungkinan adanya serangan dari Belanda. 

Selain itu, I Fatimah juga mengajarkan syiar Islam di negeri itu. Dari dakwah yang disampaikan kepada rakyat Mempawa akhirnya Raja membuat satu jabatan khusus mengurusi masalah dakwah Islam dengan nama “mufti” mirip dengan menteri agama di kerajaan lain, kalau di Gowa diberi nama Daengta Kaliya. 

Keturunan Fatimah berkembang terus di negeri ini dan menikah dengan masyarakat setempat, hingga sampai sekarang banyak pembesar dari negeri ini mengakui jika nenek moyangnya berasal dari Gowa. 

I Fatimah wafat dan dikuburkan di Pulau Tumaju, salah satu pulau di Mempawa Kalimantan Barat. Pulau ini sering dijadikan tempat rekreasi raja pada zaman dulu dan juga tempat persembunyian bagi pelarian. Pulau ini sangat indah, di sekelilingnya ditumbuhi pohon nyiur dan pohon lainnya. Kuburan suaminya juga diperkirakan ada di negeri itu. Hingga kini perguruan silat maupun kuburan I Fatimah masih tetap lestari. 



Daftar Pustaka 


Syarifuddin Kulle dan Zainuddin Tika. 2007. I Fatimah Daeng Takontu Srikandi dari Timur. Pustaka Refleksi. Makassar. 

Profil Sejarah Budaya dan Pariwisata Gowa. 2016. https://sejarahgowa.wordpress.com

1 komentar:

  1. Assalamu alaikum...bisakah sejarah dan keturunan syekh sirajuddin daeng ngilau karaeng pandang lau tuan sapanjang di angkat..

    BalasHapus